Keindahan batik bukan dilihat dari kesulitan teknik tulis di batik saja, melainkan juga motif, corak, dan paduan warnanya. Hal itu pula yang mendorong Nur Cahya Nasution mengembangkan kekayaan tradisi batik itu dengan mengawinkannya dengan nuansa Tanah Batak.
Nur mengaku dia mengkreasikan batik tulis yang disebutnya Batik Batak itu setelah mengikuti pelatihan membatik. ‘’Hasil kerajinan tangan ini diberi nama seperti itu karena setiap motifnya kental dengan motif Batak,’’ katanya.
Perempuan asal Mandailing ini sebetulnya tak sengaja bergelut di dunia batik-membatik. Dia mulai tertarik mengembangkan apa yang disebutnya sebagai Batik Batak setelah menerima ajakan Dekranas berlatih membuat batik pada 2007 silam.
“Saya tak tahu kenapa banyak orang di kampung yang tak mau ikut. Ya sudah saya putuskan saja ikut,” ujar wanita yang mengaku gemar kerajinan tangan semasa muda ini. Dalam masa-masa belajar itu, Nur mengatakan, pesertanya terdiri dari 30 orang. Seorang guru didatangkan khusus dari Tasikmalaya. “Sayangnya yang betul-betul bisa mendirikan usaha hanya dua orang. Saya dan seorang lagi asal Langkat,” papar Nur.
Dia mengaku tak kehabisan akal menemukan teknik membatik selepas pelatihan. Meskipun diakuinya pekerjaan paling sulit adalah membuat batik tulis. “Mungkin ini yang membuat harga batik itu begitu mahal di Jawa,” ujarnya.
Melihat nilai batik yang tinggi, nenek 10 cucu ini mendirikan UKM Center Sumut bersama warga sekitar dengan nama Musyawarah Bersama. “Bersama adalah nama jalan dan musyararah nama gang rumah saya agar mudah diingat,” katanya.
Meski kini penjualan Batik Batak sudah sampai ke pulau Jawa, tapi kendala yang dirasakan masih sulitnya bahan baku seperti lilin dan canting yang harus didatangkan dari Jawa. Sehingga hingga kini SDM masih kurang membuat produksi batik masih terjangkau. “Sampai ini kita hanya masih memenuhi permintaan saja,”paparnya.
Sumber:http://www.hariansumutpos.com/
No comments:
Post a Comment