Pages

November 09, 2010

Eksportir Kopi Masih Wait and See

Meski terancam gulung tikar, eksportir kopi ternyata masih wait and see dalam meneruskan bisnisnya. Sebab, semakin tingginya harga kopi dunia dan di tingkat petani, eksportir belum berani membuat kontrak baru untuk tahun 2011. Eksportir kopi Sumut, Suryo Pranoto, mengakui sulitnya perdagangan kopi itu meski permintaan justru bertambah banyak termasuk dari China. Awalnya pengusaha memperkirakan harga arabika lokal sudah mulai turun di awal Oktober karena musim panen, nyatanya musim itu belum masuk juga sehingga pasokan tetap sulit dan membuat harga bertahan mahal.
“Kita masih lihat kondisi dululah kalau mau buat perjanjian kontrak baru. Ini saja kami sudah harus menutupi biaya tambahan karena harga di tingkat terminal juga sudah naik,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (12/11).
Menurutnya, permintaan buyer terhadap kopi juga belum menampakkan peningkatan karena masih menunggu turunnya harga jual kopi tingkat dunia yang sudah menembus US$209,50 per pound. Jadi, pengusaha masih menunggu untuk melakukan transaksi baru untuk tahun 2011. “Kalau mau buat kontrak baru, kita takut kalau produksi tidak ada. Harga beli kopi di tingkat petani juga sangat tinggi. Jadi benar-benar tidak menguntungkan,” ucapnya.
Kondisi semakin parah karena hampir semua eksportir berebut untuk menyimpan stok karena khawatir harga tinggi lagi sehingga tidak mampu memenuhi kontak. Hal ini perlahan-lahan bisa membuat harga kopi melonjak menjadi Rp 37.000 hingga Rp 38.000 per kg.
Sekretaris Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumut, Saidul Alam, mengatakan, eksportir hanya pasrah tidak bisa berbuat banyak dengan terus meningkatnya harga jual kopi. “Harga kopi di tingkat petani terus mengalami kenaikan karena penurunan produksi akibat perubahan iklim. Tapi kami pasrah aja dulu meski terancam gulung tikar,” ujarnya.
Dikatakannya, tingginya harga kopi saat ini memang banyak membuat eksportir mengalami kerugian karena harus mengeluarkan biaya tambahan akibat harga di tingkat terminal atau harga maksimal dijual US$ 4,7 per kg atau setara dengan Rp 41.000 per kg.
Saat ini, harga kopi di bursa New York yang menembus US$ 209,50 per pound, sedangkan harga terminal US$ 4,7 per kg atau sekitar Rp 41.000 per kg untuk ready ekspor. Harga lokal yang masih menembus Rp35.000 per kg dan ekspor yang tidak seimbang itu membuat eksportir bukan saja tidak berani membuat kontrak baru, bahkan cenderung memilih tidak mengekspor. “Kalau-pun ada ekspor, itu hanya untuk menutup kontrak dengan mitra kerja di luar negeri,” ucapnya.
Ditambahkan Saidul, kondisi harga dan menurunnya produksi kopi secara langsung mengancam bisnis pihak eksportir karena harga yang dibeli lebih tinggi daripada dijual. Menurutnya, tingginya harga kopi di lokal itu dipicu terlambatnya masa panen kopi arabika itu sehingga terjadi pasokan yang ketat. Kondisi seperti itu yang membuat pengusaha tidak begitu antusias dengan tawaran beberapa eksportir baru dari beberapa negara yang berminta bermitra perdagangan kopi itu dewasa ini. “Bagaimana mau penuhi permintaan, memenuhi kontrak saja sulit karena produksi yang terus menurun,” katanya.
Kasie Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Sub Dinas Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sumut, Fitra Kurnia menambahkan, kondisi seperti ini memang sangat disayangkan mengingat kopi merupakan salah satu komoditas yang diunggulkan di Sumut.
“Jika semakin banyak eksportir tidak mengekspor dikhawatirkan kopi dari Sumut tidak ada lagi, namun kita tidak bisa berbuat banyak karena memang ini tergantung kondisi,” imbuhnya pasrah. 
Sumber:medanbisnisdaily.com

Share This!


No comments:

Popular Posts

Total Pageviews

Powered By Blogger · Designed By Blogger Templates